Cari Blog Ini

Home

Senin, 23 November 2015

Bandaraku Mengambang di Udara

SUDAH berbulan-bulan prosesi peletakan batu pertama (groundbreaking) proyek pengembangan Bandar Udara (Bandara) Syamsudin Noor Banjarmasin yang berada di Kota Banjarbaru, dilaksanakan. Tidak tanggung-tanggung, prosesi yang dilaksanakan persisnya pada 18 Mei 2015 itu, langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Tapi apa kabarnya hingga hari ini? Jangankan bekerja, tanda-tanda akan beraktivitas saja belum ada di lokasi tersebut. Padahal, ketika peletakan batu pertama itu dilaksanakan, beribu harap tertanam di hati warga Kalimantan Selatan.

Harapan ingin memiliki bandara yang lebih bagus, refresentatif paling lambat pada 2017. Karena hingga saat ini Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin boleh dibilang kalah dengan Bandara Supadio Pontianak, Kalimantan Barat. Bahkan kalah jauh dengan Bandara Sepinggan Balikpapan, Kalimantan Timur. Jangan-jangan dalam waktu dekat pun akan ‘dibalap’ Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Belum jelasnya pembangunan Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin tentu saja menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat. Apakah gerangan yang terjadi?

Jika menelusuri alasan demi alasan yang dikemukakan, baik oleh Angkasa Pura I Bandara Syamsudin Noor maupun instansi terkait di Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kota Banjarbaru, masalah pembebasan lahan menjadi batu sandungan utama. Upaya pembebasan lahan sendiri bukan perkara baru. Sudah tiga tahun! Tepatnya dimulai sejak 2012.

Dari target seluas 102,2 hektare, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) yang merupakan tim gabungan Pemprov, Pemko Banjarbaru dan PT Angkasa Pura I, baru bisa membebaskan 81,81 hektare. Dana yang telah digelontor untuk ganti rugi juga tidak sedikit, Rp 239,5 miliar. Lalu apanya lagi yang salah?

Sampai sekarang ada sejumlah warga masih bertahan karena merasa nilai pembebasan ganti rugi terlalu rendah. Lahan yang belum dibebaskan karena faktor ini seluas 11,04 hektare yang berada di Kelurahan Syamsudin Noor dan Guntung Payung, Kota Banjarbaru.

Apa yang dilakukan pemerintah daerah sebagai solusinya? Lagi-lagi pemerintah daerah melalui Pemko Banjarbaru masih sebatas membentuk tim percepatan. Melibatkan pemko, kejaksaan, pengadilan, kepolisian, Angkasa Pura dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan).

Sebenarnya duduk berunding memang sebuah pilihan yang bijak, dalam upaya mencapai musyarawah untuk mufakat guna menyelesaikan masalah. Tapi tentu ini saja tidak cukup. Perlu sebuah ketegasan. Tegas dalam bertindak.

Berkaca pada pembebasan lahan di sejumlah daerah di Indonesia, sinergi berbagai unsur di pemerintahan dengan melibatkan TNI-Polri sangat efektif. Semangatnya tentu saja bukan mengedepankan langkah refresif berupa tindakan fisik. Melainkan lebih mengutamakan persuasif atau pendekatan.

Jika dilandasi nawaitu, niat yang baik berpedoman pada asas keterbukaan, transparansi, penyelesaian dengan cara damai bukan keniscayaan. Jika landasan ini sudah dilakukan oleh pelaksana dan pengambil kebijakan, bukan tidak mungkin masyarakat pun akan luluh. Kalau keterbukaan itu sudah dilakukan, tapi ada saja warga yang bandel, ini hanyalah sebuah kerikil kecil. Tak perlu takut untuk ‘meminggirkannya’.

Tapi jika landasan transparan itu tidak menjadi pijakan, jangan harap dan jangan paksa masyarakat mengikuti maunya pengambil kebijakan.Karena jauh di lubuk hati masyarakat, mereka pun menginginkan memiliki bandara yang indah, bagus, refresentatif. Sebagaiaman asa mereka saat groundbreaking dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla. (*)

 


 
 
 

0 komentar: